Bulan Safar di Cirebon

Dodi Nurdjaja

Header Ads

728 x 90 ads 728 x 90 ads
Maaf sedang ada penataan ulang label, dalam rangka mau ganti theme/template. Berdampak di Menu Utama.


DMCA.com Protection Status
Copas harus se-izin pemilik konten

Bulan Safar di Cirebon

Bulan Safar diyakini sebagai bulan malapetaka (balae/blai). Keyakinan ini sudah mendarah-daging dan berurat-berakar di kalangan masyarakat Sunda dan Cirebon. Bisa jadi ini merupakan keyakinan turun-temurun sejak nenek moyang kita yang beragama animisme dan dinamisme, dengan sistem kalender yang dikonversikan ke kalender Islam.
---

Bulan Safar di Cirebon

Tawurji




Foto diunduh dari http://stat.kompasiana.com/files/2010/08/si_unyil-201x300.jpg
pada
http://hiburan.kompasiana.com/humor/2010/08/26/si-unyil-vs-upin-ipin-239077.html


Sejak saya masih kecil, kedatangan bulan Safar (atau Sapar menurut orang Cirebon), ditandai dengan munculnya Tawurji. Anak-anak tawurji berkelompok dan bergerak dari pintu ke pintu, rumah ataupun toko, untuk minta sedekah. Biasanya mereka berkelompok 3 sampai 5 orang. Di tiap pintu, mereka mendendangkan lagu doa tawurji, sampai mendapat sedekah (atau permintaan maaf jika tidak bisa memberi).

Bisa jadi penampilan boneka Si Unyil terinspirasi oleh tawurji. Tawurji mengenakan peci/kopiah (yang kadang melintang), kain sarung yang diselempangkan atau dikalungkan di badan, dan kadang tanpa alas kaki. Saya pikir sah-sah saja jika misalnya ada sekelompok tawurji kemudian meminta royalti atas hak intelektual penampilan mereka kepada Film Boneka Si Unyil (atau acara Laptop Si Unyil, sekarang)

Berikut ini adalah lirik (lagu doa) Tawurji:

Wur, tawur Ji
Tawur… selamat dawa umur tawur Ji
Tawur… selamat dawa umur tawur Ji


Tawur bisa diidentikkan dengan nyawer, atau memberi sekedarnya. Ji adalah kependekan dari Kaji (Pak Haji atau Bu Haji). Panggilan Ji adalah penghormatan untuk pemilik rumah (atau toko), sekalipun belum berhaji, merupakan do’a semoga kelak bisa menunaikan ibadah haji. Selamat dawa umur (Selamat panjang umur) adalah do’a yang disampaikan dari pintu ke pintu.

Secara tradisi, tawurji datang tiap hari Rabu (ada pula yang mengatakan tiap hari Selasa) di bulan Safar. Tawurji bergerak untuk mendo’akan para penghuni rumah (atau toko) agar mendapat keberkahan dan keselamatan. Pemilik rumah yang akan memberi tawur biasanya bertanya dari mana mereka berasal. Mereka kadang menjawab nama kampung atau ada juga yang menjawab nama pesantren dari mana mereka berasal.

Ada versi yang mengatakan bahwa tawurji adalah anak-anak yatim, yang berdo’a ke setiap rumah. Do’a anak yatim, diyakini lebih makbul.

Versi lain mengatakan bahwa tawurji ditugaskan oleh pesantren untuk berdo’a ke setiap rumah, dan uang yang terkumpul dipakai untuk membangun masjid atau pesantren yang bersangkutan.

Versi yang lebih kuno mengatakan bahwa tawurji adalah tradisi turun-temurun dari santri-santri Syekh Siti Jenar. Mereka terlantar sejak ditinggal wafat Syekh Siti Jenar yang dieksekusi mati. (Terlepas dari beberapa pendapat dan analisa yang mengatakan bahwa sosok Syekh Siti Jenar itu tidak ada, dan hanya merupakan suatu rekayasa sejarah.)

Versi menurut Cirebon, eksekusi mati Syekh Siti Jenar dilakukan di Cirebon. Hal ini karena Syekh Siti Jenar lebih sering berada di Cirebon. Bahkan ikut menyebarkan ajarannya di Amparan Jati.

Versi umum pun mengatakan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu berbahaya dan menyesatkan. Sehingga, jalan terbaik menurut sidang dewan Wali Sanga (yang konon sidang ini dilakukan di Mesjid Agung Sang Cipta Rasa), adalah eksekusi mati bagi Syekh Siti Jenar.

Syekh Siti Jenar menerima putusan eksekusi mati ini (yang konon dilakukan oleh Sunan Kudus). Tapi, dengan berbagai metode eksekusi, ternyata Syekh Siti Jenar masih bisa hidup kembali. Sunan Gunung Jati, kemudian meminjamkan salah satu keris pusakanya (Keris Kantanaga) untuk mengeksekusi.

Akhirnya Syekh Siti Jenar wafat (tak bisa hidup kembali) setelah ditusuk keris itu. Dari tubuhnya tercium bau bunga melati. Kemudian badan Syekh Siti Jenar pun menyusut dan menjadi sebesar bunga melati. Jasadnya tetap diperlakukan sebagai mana layaknya mayat seorang muslim, yaitu dimandikan, dikafani, dishalati, dan akhirnya dikebumikan.

Area makam Syekh Siti Jenar, kemudian dikenal dengan nama Kemlaten (ke-melati-an). Sekarang menjadi tempat pemakaman umum.

Sepeninggalan Syekh Siti Jenar, santri-santrinya terlantar. Atas usul dari Sunan Kalijaga (dan seijin Sunan Gunung Jati), mereka diperkenankan meminta sedekah di Cirebon. Namun hanya diperbolehkan pada bulan safar, setiap hari Rabu (atau hari Selasa menurut versi lain). Itu pun dengan syarat, mereka berdo’a untuk setiap rumah yang mereka datangi.

Tapi tawurji sekarang datang pada hari apapun. Bahkan, saat masih bulan Muharam, pun sudah berkeliaran. Entah tawurji tradisi mana pula itu.


Rebo Wekasan

Pada bulan Safar, dikenal pula istilah Rebo Wekasan, yang tidak terdapat di bulan lain. Rebo Wekasan adalah puncak kesialan atau malapetaka dalam setahun, yang jatuh pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Bulan Safar diyakini sebagai bulan malapetaka (balae/blai). Keyakinan ini sudah mendarah-daging dan berurat-berakar di kalangan masyarakat Sunda dan Cirebon. Bisa jadi ini merupakan keyakinan turun-temurun sejak nenek moyang kita yang beragama animisme dan dinamisme, dengan sistem kalender yang dikonversikan ke kalender Islam.

Safar adalah bulan ke dua dalam perhitungan kalender Islam Jawa. Bulan ini di percaya masyarakat adalah bulan musim kawin hewan, atau khewan sing pada kawin seperti anjing (asu), sehingga di bulan ini sebaiknya tidak dilakukan acara pernikahan atau masyarakat Cirebon mengenal bulan larangan untuk melakukan pernikahan. Disamping itu juga bulan sapar dikenal dengan bulan yang sering terjadi malapetaka atau wulan sing akeh sial (blai) khususnya hari rabu terakhir di bulan ini

Semakin terpatri kuat saat mendapat pembenaran menurut Hindu dan Budha. Tidak terkecuali pada versi Islam, “pada buku yang disusun oleh Imam Abdul Hamiid Quds, salah satu imam besar Masjidil Haram pada awal abad ke-20. Disitu dikatakan bahwa “ Banyak Alwiya Allah yang mempunyai Pengetahuan Spiritual telah menandai bahwa setiap tahun, 320 ribu penderitaan (Baliyyat) jatuh ke bumi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar”.

Tawurji menurut versi hari Selasa, menyebarkan do’a keselamatan sebelum hari Rabu. Puncaknya, adalah Selasa sebelum Rabu terakhir di bulan Safar. Sedangkan tawurji menurut versi hari Rabu, justru pada hari itulah dibutuhkannya do’a keselamatan. Dan puncaknya adalah do’a tawurji pada Rabu terakhir di bulan Safar, untuk mencegah Rebo Wekasan. Rabu terakhir di bulan Safar menjadi puncak acara buang sial atau tolak bala.

Bersamaan dengan itu, diadakan pasar rakyat (pasar malam) menjelang hari raya Maulid Nabi Muhammad SAW (12 Rabiul Awal atau 12 Mulud), yang lebih dikenal dengan sebutan Muludan. Muludan diadakan di area terbuka antara Pasar Kanoman dan Keraton Kanoman. Lebih jauh tentang Muludan akan saya posting pada kesempatan lain. (Silakan baca di "Muludan")


Ngirab

Konon, tradisi Ngirab meniru perbuatan Sunan Kalijaga saat berada di Cirebon. Tapi pada kondisi apa Sunan Kalijaga berada di Cirebon?

Versi umum mengatakan bahwa saat Sunan Kalijaga berguru ke Sunan Gunung Jati. http://carubannagari.blogspot.com/2008/02/wulan-sapar-saparan.html

Tapi bisa saja kedatangan Sunan Kalijaga ini, saat sidang dewan Wali Sanga, yang berujung eksekusi mati Syekh Siti Jenar. Karena dikatakan, Syekh Siti Jenar di eksekusi pada bulan Safar.

Seperti yang telah tertulis sebelumnya, setelah eksekusi mati Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga mengusulkan agar para santri Syekh Siti Jenar diperkenankan meminta sedekah di Cirebon. Sunan Gunung Jati pun mengijinkan. Jadilah tradisi Tawurji. Namun hanya diperbolehkan pada bulan Safar. Sambil menyebarkan do’a keselamatan (tolak bala) yang puncaknya adalah mencegah datangnya Rebo Wekasan.

Sunan Kalijaga sendiri, melakukan tapa/nyepi di sekitar muara dekat pintu gerbang Lawang Sanga. Muara itu kemudian dikenal sebagai Kesunean (sunyi, yang diambil dari laku tapa/nyepi Sunan Kalijaga).

Pada hari Rabu terakhir Safar, Sunan Kalijaga dibangunkan dari tapa/nyepi oleh Sunan Gunung Jati. Kemudian Sunan Kalijaga menyusuri sungai (Kriyan) ke arah hulu. Sesampainya di Drajat, Sunan Kalijaga berhenti dan melakukan bersih diri (mandi), yang dipercaya sebagai tolak bala untuk mencegah datangnya Rebo Wekasan juga.

Tradisi NGIRAB, adalah sebuah tradisi berperahu dari muara Kesunean melewati Lawang Sanga menuju Dukuh Semar di daerah Derajat yang dilakukan setiap bulan Safar. Ngirab dilakukan dari pagi sampai sore, dimulai dari muara Kesunean menuju ke arah hulu, melewati Sungai Kriyan dan diakhiri dengan acara membersihkan diri (mandi) di Derajat.
Nama Kesunean berarti sepi atau sunyi atau juga dapat diartikan sebagai perilaku pasrah kepada hadirat Ilahi, dan rasa syukur terhadap anugerah yang diberikan Allah kepada manusia dengan melakukan munajat agar dikemudian hari mendapatkan kehidupan lahir batin yang lebih baik.
Derajat mengandung arti bahwa setelah mensucikan diri maka seseorang akan memperoleh derajat yang lebih tinggi.
Lawang Sanga, merupakan perlambang dari 9 lubang hawa di dalam tubuh manusia yang senantiasa harus dijaga kebersihan dan kesuciannya dari segala kotoran. { mata (2), telinga (2), hidung (2), mulut (1), lubang anus(1), dan alat kelamin (1) }

Saya sendiri belum pernah ikut atau melihat tradisi yang satu ini. Dan sayangnya, tradisi ini pun sudah hilang, seperti yang tertulis pada Catatan Facebook "NGIRAB, tradisi yang hilang karena perbaikan jembatan Kesunean". Yang tersisa hanyalah membersihkan diri (mandi) di Sungai Drajat.


Apem Kinca

Bulan Safar adalah bulannya Apem. Di tempat lain, semisal Mandirancan, Apem Safar disebut juga Cimplo. Tapi bentuknya berbeda. Apem Cirebon berbentuk kotak seperti irisan ketan uli. Sedangkan Cimplo berbentuk bulat pipih, mirip Serabi Kinca kalau di Cirebon (atau sekarang lebih dikenal dengan Serabi Bandung).

Apem adalah kue yang terbuat dari tepung beras yang difermentasi, rasanya sangat hambar dan agak bau asem. Kinca adalah cairan pemanis yang terbuat dari gula merah. Bersama kinca, biasanya dicampurkan blondo. Blondo, adalah sisa endapan saat pembuatan minyak kelapa, rasanya gurih. Bagi yang tak terbiasa dengan apem kinca, akan merasa aneh dengan sensasi rasa apem yang dimakan dengan kinca ini. Tapi bagi saya, nikmat sekalee.

Sebenarnya saya pun tak habis pikir, apa hubungannya Bulan Safar dengan Apem Kinca.

Ada yang mengatakan merupakan bentuk syukur dan saling berbagi dengan tetangga. Memang yang saya alami sejak kecil, sesama tetangga saling bertukar Apem Kinca. Sehingga jika ada tetangga yang tidak membuat, tidak memesan atau tidak membeli Apem Kinca, tetap bisa makan Apem Kinca pemberian para tetangga. Tapi kenapa Apem Kinca?

Ada lagi yang mengatakan Apem perlambang jasad dan Kinca perlambang darah. Kita hidup karena persatuan antara jasad dan darah, seperti Apem dan Kinca. Apa hubungannya dengan bulan Safar?

Blondo adalah pengganti santan. Saat Kinca dengan Santan (merupakan kode gula-kelapa bagi bendera Merah-Putih) digantikan blondo, diartikan sebagai campur tangan Belanda. Ini untuk mengingatkan bahwa Belanda harus segera diusir dari tanah air berbendera Merah-Putih. Makin jauh lagi, hubungannya dengan bulan Safar. Tapi yang pasti, saya lebih suka Apem dengan rasa Kinca-blondo dari pada Kinca-santan, dan tidak berarti saya suka dijajah Belanda, kan?

Versi yang lebih masuk akal, adalah meniru kebiasaan Keraton yang membagi-bagikan Apem di bulan Safar.

Yang mungkin tak dirasakan teman-teman tetangga saya, adalah kebiasaan almarhumah nenek saya (yang saya panggil Emak) di bulan Safar ini. Konon saya terlahir di bulan Safar, begitu juga Om saya. Begitu masuk bulan Safar, Emak sudah punya Apem. Apem ini dirangkai (seperti sate) dengan tutus (sayatan rotan tipis memanjang, mirip sayatan bambu tipis pada keranjang tahu Sumedang) dari ujung satu ke ujung lainnya. Saya disuruh mengenakan celana pendek bertelanjang dada. Kemudian, seperti layaknya penjahit yang sedang mengukur baju, Emak ‘mengukur’ lingkar dan panjang seluruh badan saya menggunakan rangkaian apem tadi. Itu pula yang dilakukan Emak terhadap Om saya. Apem bekas ‘mengukur’ tadi, tentu saja dibuang. “Itu untuk buang sial”, kata Emak. Tak beranilah, saya membantah apa kata Emak.

=====

Safar

=====

11 komentar:

  1. Makin asik nih ceritanya, legenda yang dikenal turun temurun memang menjadi santapan menarik apalagi diracik secara apik dan ditelusuri sejarahnya. Saya tunggu kisah2 berikutnya, bung Dody...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Bu Etty. Apresiasi macam ini, membuat saya makin semangat untuk meneruskan postingan berikutnya.
      BTW, mungkin anda berniat ikut bersih diri (tolak bala), atau sekedar merasakan Apem Kinca?

      Hapus

Iklan dan Promosi terselubung masih boleh, asal cantumkan komentar yang sesuai tema.
Iklan/promosi yang berlebihan dan komentar yang tidak sesuai tema, akan dihapus.
Komentar spam akan dihapus juga.

Copyright © 2011 Dodi®Nurdjaja™ . Diberdayakan oleh Blogger.