Untold Story | Syekh Nurjati

Dodi Nurdjaja

Header Ads

728 x 90 ads 728 x 90 ads
Maaf sedang ada penataan ulang label, dalam rangka mau ganti theme/template. Berdampak di Menu Utama.


DMCA.com Protection Status
Copas harus se-izin pemilik konten

Untold Story | Syekh Nurjati

Setelah Syekh Nurjati selesai memberi tausiyah kepada keempat muridnya, tiba-tiba dia menghilang dari pandangan. Sebelum benar-benar sirna, Syekh Nurjati menitipkan Gunung Jati kepada mereka berempat. Syekh Nurjati pun mengatakan bahwa dirinya berada amat dekat dengan mereka berempat. Kata Syekh Nurjati, "Sira ya isun. Isun ya sira." ("Kamu adalah saya. Dan saya adalah kamu.")
---
Sambungan dari "Puser Bumi Gunung Jati Cirebon"

Syekh Nurjati



Puncak Gunung Ciremai yang terombang-ambing di laut, telah diam dan menjadi tanah (daratan) biasa, kemudian dikenal dengan nama Gunung Jati. Syekh Nurjati akhirnya bermukim di tempat ini. Tak ada lain kegiatannya kecuali hanya beribadah saja.

Konon, menurut sambungan cerita Puser Bumi Gunung Jati Cirebon, Pulau Jawa kadang masih bergoyang. Akibat goyangan itu, banjir rawa sering berpindah-pindah tempat. Lain halnya dengan Puser Bumi Gunung Jati, yang telah tetap dan kokoh tanpa goyang apalagi bergeser.

Akibat sinar cahaya Puser Bumi yang berpendar sampai terlihat di negara-negara Islam, para waliyullah mengadakan musyawarah di tanah suci Mekkah.

Sementara itu, Sultan Chuffi dari kesultanan Baghdad - Persia, tengah dirundung kebingungan. Salah seorang anaknya, Syarif Abdurrahman, terlihat seperti orang gila. Syarif Abdurahman hanya senang bernyanyi dengan alunan rebananya sendiri, tanpa peduli atau rasa malu terhadap sekitarnya.

Musyawarah para waliyullah telah sampai pada satu keputusan. Diutuslah seseorang untuk memberi kabar kepada Sultan Chuffi. Sultan Chuffi diminta menyerahkan anaknya, Syarif Abdurrahman, untuk bertemu, berguru dan mengabdi kepada Syekh Nurjati di Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon. Sultan Chuffi tak keberatan sedikitpun. Bahkan Syarif Abdurrahman pun nampak gembira akan kabar tersebut dan keputusan ayahandanya.

Syarif Abdurrahman bersiap berangkat ke tanah suci Mekkah, untuk menemui para waliyullah. Tak disangka, ketiga saudaranya (Syarif Abdurrahim, Syarif Abdillah dan Syarifah Baghdad) berkeras ingin mengikuti. Akhirnya Sultan Chuffi merelakan putri dan ketiga putranya untuk pergi. Mereka dibekali empat buah kapal dan masing-masing berisi tiga ratus awak kapal.

Setelah bertemu dengan para waliyullah, keempat kapal tunggangan mereka, dilumuri tanah pasir dari Gunung Sinai (Tursina). Dengan lumuran pasir ini, keempat kapal itu bagaikan tak terlihat oleh para perompak. Melaju cepat walau tanpa dorongan angin. Ombak badai pun, dapat dibelah dengan amat mudahnya.

Sampailah keempat kapal itu di Tegal Alang-alang (kelak bernama Kebon Pesisir, kemudian menjadi Pelabuhan Muara Jati). Mereka diterima oleh Ki Gedeng Alang-alang (atau Ki Gede Pengalang-alang, yang kelak menjadi Kuwu Cerbon atau Kuwu Cirebon). Mereka berempat dan seribu dua ratus awak kapalnya dipersilakan mendirikan pemukiman di sebelah utara.

Setelah bertemu dengan Syekh Nurjati, mereka berempat kemudian mendirikan pemukiman di tempat yang ditunjuk oleh Ki Gedeng Alang-alang. Keempatnya mengutarakan maksud untuk belajar ajaran Islam dari Syekh Nurjati. Namun Syekh Nurjati berkata bahwa ajaran Islam itu akan diajarkan oleh seseorang kelak, yang lahir dari Kerajaan Pajajaran.

Untuk menunggu keadaan tersebut, keempatnya ditawarkan ilmu tata adat di tanah Jawa dan ilmu ke-Jawa-an (Kejawen). Selanjutnya diperintahkan keempatnya melakukan ikhtiar, mengasah bathin hanya untuk Allah semata.

Kepada Syarif Abdurrahman, dipersilakan berdakwah melalui seni dan menyandang gelar Pangeran Panjunan. Kata Pan berarti menghadap, sedangkan Junan berarti khusuk atau tekun (ada pula yang mengartikan Junan sebagai gila, Pangeran Gila dari Persia). Tempatnya berdakwah melalui seni, menjadi pusat keramaian dan perdagangan. Di tempat ini, Pangeran Panjunan mendirikan Masjid Al-Athya, namun lebih dikenal sebagai Masjid Merah Panjunan. Para pengrajin gerabah dan keramik di sini pun mendapat sebutan Jun (tekun). Para penjual serabi, sebagai pemakai gerabah, mendapat sebutan Junun (ajeg atau istiqamah). Kemudian Pangeran Panjunan mukim dan wafat di Plangon.

Kepada Syarif Abdurrahim, dipersilakan mengembangkan pengetahuan tentang hukum Islam. Syarif Abdurrahim dikenal dengan nama Syarifuddin atau Pangeran Kejaksan. Kata Ke artinya orang yang bijaksana (mungkin mirip Ki atau Kiyai), sedangkan Jaksan adalah hukum atau keadilan. Tempatnya melakukan diskusi hukum Islam, menjadi Tajug Agung Pangeran Kejaksan. Kemudian sebuah tegalan, dijadikan tempat pertemuan massal, yang kelak di kemudian hari diberi nama Alun-alun Kejaksan dan Tajug Agung atau Masjid At-Taqwa. (Namun, Masjid At-Taqwa, yang terletak di sebelah barat Alun-alun Kejaksan, yang dulunya bernama Tajug Agung, bukanlah Tajug Agung Pangeran Kejaksan). Kemudian Pangeran Kejaksan pun mukim dan wafat di Plangon.


Kepada Syarif Abdillah, dipersilakan mengajar membaca Al-Quran. Syarif Abdillah meneruskan gelar Syekh Dzatul Kahfi atau Syekh Idlofi, yang sebelumnya disandang oleh Syekh Nurjati. Dzatul Kahfi artinya yang mendiami kahfi/goa, kemudian bergeser pengucapannya menjadi Syekh Datuk Kahfi dan Syekh Datuk Khafidz. Idlofi berarti nyawa, karena dialah penyambung atau penerus kehidupan Syekh Nurjati. Tempatnya mengajar pun di sekitar Puser Bumi, Gunung Jati. Kelak Pesantren yang didirikannya diberi nama Pesantren Amparan Jati.

Kepada Syarifah Baghdad, diperkenankan membantu Syarif Abdillah, mengajar mengaji di Pesantren Amparan Jati.

Setelah Syekh Nurjati selesai memberi tausiyah kepada keempat muridnya, tiba-tiba dia menghilang dari pandangan. Sebelum benar-benar sirna, Syekh Nurjati menitipkan Gunung Jati kepada mereka berempat. Syekh Nurjati pun mengatakan bahwa dirinya berada amat dekat dengan mereka berempat. Kata Syekh Nurjati, "Sira ya isun. Isun ya sira." ("Kamu adalah saya. Dan saya adalah kamu.")

Maka sejak saat itu, putri dan ketiga putra Sultan Baghdad itu sering kali berganti peran satu sama lain sambil pula berperan menjadi Syekh Nurjati.

Di suatu tempat, di wilayah Panjalu Sunda, tak berapa lama setelah menghilangnya Syekh Nurjati dari Puser Bumi, muncullah seorang pendeta bernama Resi Wisaka.


Bersambung ke "Resi Wisaka"
---

Syekh Nurjati

---
Baca juga Alun-alun Kejaksan dan Mbah Kuwu Sangkan

Tidak ada komentar:

Iklan dan Promosi terselubung masih boleh, asal cantumkan komentar yang sesuai tema.
Iklan/promosi yang berlebihan dan komentar yang tidak sesuai tema, akan dihapus.
Komentar spam akan dihapus juga.

Copyright © 2011 Dodi®Nurdjaja™ . Diberdayakan oleh Blogger.