Sintren (1)

Dodi Nurdjaja

Header Ads

728 x 90 ads 728 x 90 ads
Maaf sedang ada penataan ulang label, dalam rangka mau ganti theme/template. Berdampak di Menu Utama.


DMCA.com Protection Status
Copas harus se-izin pemilik konten

Sintren (1)

Juru bicara rombongan Sintren, memberi aba-aba kepada para penonton, untuk memulai prosesi balangan. Saya tertawa saat melihat sang Sintren terkulai ketika terkena balangan uang receh di tubuhnya. Sang pawang kembali melemparkan asap dupa ke wajah Sintren. Sintren kembali menari, dan kembali terkulai terkena balangan uang receh. Setiap sang Sintren terkulai, sang pawang melemparkan asap dupa ke wajah Sintren, dan Sintren pun kembali menari.
---

Khasanah Seni Budaya Cirebon

Sintren

(Lagi-lagi Berkenaan dengan Jakarta)

Pengalaman Masa Kecil


Foto diunduh dari http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/c9/Seni_Sintren.jpg
pada Sintren menurut Wikipedia
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sintren)

Saya tak ingat betul, kapan waktu itu saya pertama kali nonton Sintren. Mungkin usia saya sekitar 3 atau 4 tahun. Yang pasti, saya belum masuk TK. Dengan pola pikir yang masih sangat anak-anak, saya nonton sambil sembunyi, antara keinginan untuk nonton sekaligus rasa takut.

Entah untuk kepentingan apa pertunjukan Sintren ini digelar malam hari bada isya di kampung saya. Tempat pertunjukan adalah lapangan bulu tangkis out door, yang telah dilengkapi lampu dengan sumber listrik cantolan. (Lapangan ini sekarang menjadi rumah yang saya tempati).

Sebelum pertunjukan dimulai, seorang pawang (yang saat itu saya kira dukun) duduk komat-kamit sambil membawa dupa (anglo berukuran kecil, yang biasa dipakai untuk membakar kemenyan). Kemudian dia berdiri dan berjalan berkeliling membawa dupa dengan asap mengepul dan aroma kemenyan yang menyebar ke mana-mana, sambil tetap komat-kamit. Akhirnya dia kembali duduk bergabung dengan rombongan sintren. Dengan asap dupa yang masih mengepul, suara kendang memecah suasana, membuat saya kaget dan berlari sembunyi.

Diiringi suling bambu, kecrekan (rangkaian lempeng besi yang biasa dibunyikan oleh tukang patri keliling) dan suara tiga buah buyung (tempayan, gerabah semacam gentong kecil dari tanah liat) dengan ukuran berbeda, dilantunkan tembang-tembang pembuka. Yang unik adalah cara membuat suara dengan buyung, yaitu dengan memukulkan ilir (kipas bambu) di mulut buyung, suaranya jadi mirip antara gong dan kendang.

Penonton semakin banyak berdatangan. Saya pun semakin maju ke depan, karena tak ingin terhalang. Seorang gadis muda dibawa ke tengah arena. Dialah yang nanti menjadi Sintren. Tampil dengan pakaian keseharian, bukan busana penari. Sang pawang berdiri dan berjalan mengitari gadis itu. Entah pada putaran ke berapa tiba-tiba gadis itu jatuh pingsan, dan dengan sigap ditangkap oleh dayang yang tadi membawanya.

Bersamaan dengan jatuhnya sang Sintren, suara kendang kembali menyentak. Saya pun kembali sembunyi, kali ini di balik punggung salah seorang penonton, sambil mengintip apa yang kemudian terjadi. ‘Jangan-jangan mati,’ pikir saya saat itu. Hentakan kendang kembali normal.

Dalam keadaan pingsan, sang Sintren diikat lalu dibopong berkeliling ke hadapan para penonton, untuk meyakinkan bahwa memang terikat kuat. Sintren kembali diletakkan di tengah arena dengan posisi badan meringkuk, kemudian ditutup kurungan ayam yang berselimut kain. Seseorang memasukkan seperangkat busana tari, yang masih terlipat rapi, ke dalam kurungan ayam tadi.

Sang pawang kembali mengitari Sintren, yang terikat di dalam kurungan ayam. Entah pada putaran ke berapa, kurungan ayam itu bergerak-gerak. Pawang menyuruh beberapa orang anggota rombongan Sintren untuk mengangkat/membuka kurungan ayam tersebut.

Ajaib! Kini penari Sintren telah terlepas tali pengikatnya, bahkan berganti busana tari dan mengenakan topeng. Sintren menari sesuai iringan musik setelah mukanya dilempar asap dupa oleh sang pawang.

Juru bicara rombongan Sintren, memberi aba-aba kepada para penonton, untuk memulai prosesi balangan. Saya tertawa saat melihat sang Sintren terkulai ketika terkena balangan uang receh di tubuhnya. Sang pawang kembali melemparkan asap dupa ke wajah Sintren. Sintren kembali menari, dan kembali terkulai terkena balangan uang receh. Setiap sang Sintren terkulai, sang pawang melemparkan asap dupa ke wajah Sintren, dan Sintren pun kembali menari.

Saya pun lari ke rumah, meminta uang receh ke nenek (yang saya panggil Emak).
“Buat apa?” tanya Emak.
“Buat balangan, Mak,” jawab saya.

Dengan beberapa keping uang logam, saya pun ikut balangan, tapi selalu meleset. Kehabisan uang logam, saya kembali minta ke Emak. Emak cuma memberi sekeping.
“Nih,” kata Emak,”kalo mau kena, maju, tempelin uangnya ke Sintren itu.”

Saya pun mengikuti saran Emak. Saya maju untuk menempelkan uang itu. Terlambat. Ada orang lain yang melempar uang ke arah Sintren, dan mengena. Saat Sintren mulai terkulai, saya lari terbirit-birit.

Entah berapa lama prosesi balangan itu berlangsung. Balangan disudahi dengan ditutupnya kembali Sintren ke dalam kurungan ayam. Ketika kurungan ayam dibuka, sang Sintren sudah kembali dengan baju keseharian, tanpa terikat, menggeliat seperti layaknya orang baru bangun tidur.

Rombongan Sintren bebenah setelah juru bicara sebagai wakil rombongan berpamitan.


Perkembangan Berikutnya


Entah sejak tahun berapa, Sintren tidak lagi mengenakan topeng. Sebagai gantinya, Sintren mengenakan kacamata hitam. Prosesi pun sudah bervariasi.

Ada yang dengan digulung tikar pandan (layaknya mayat), diayun-ayunkan dan akhirnya dilempar ke atas. Ajaib! Sintren sudah tidak lagi di dalam gulungan tikar. Ke mana? Ternyata sudah ada dalam kurungan ayam.

Ada pula Sintren dengan penari pria, yang disebut Lais. Di beberapa pertunjukan, Sintren dan Lais tampil bersamaan. Bahkan ditambahkan pula penari bodor (yang memancing gelak tawa). D samping balangan ada pula temohan (layaknya pengamen yang menyodorkan topi atau bekas bungkus permen, meminta saweran ala kadarnya, kepada penonton yang berkerumun).

Beberapa pertunjukan Sintren, menyisipkan adegan akrobat, seperti yang biasa kita lihat di pertunjukan kuda lumping. Ada yang dengan tari piring, kemudian piring dipecah-pecahkan dan kembali menari di atas pecahan piring tersebut. Ada yang bisa tidur di atas paku, seperti fakir. Dan masih banyak lagi variasi akrobat lainnya.

Pernah suatu ketika, saya lupa kapan dan di mana, saya melihat pertujukan Lais dengan iringan musik rege. Rambut mereka pun gimbal. Lais menari dengan gerakan seperti zombie. Lucu juga lihatnya.


Bersambung ke "Sintren (2)"

Sintren :  1 2 3 4 5 >

=====

Sintren

=====


Tidak ada komentar:

Iklan dan Promosi terselubung masih boleh, asal cantumkan komentar yang sesuai tema.
Iklan/promosi yang berlebihan dan komentar yang tidak sesuai tema, akan dihapus.
Komentar spam akan dihapus juga.

Copyright © 2011 Dodi®Nurdjaja™ . Diberdayakan oleh Blogger.